Melihat dari Dekat Budaya Batak di Jangga Dolok Village
Pagi itu, dari jendela kamar homestay kami yang menghadap ke danau, terlihat jelas kabut tipis masih menggantung di permukaan air. Udara dingin menyusup pelan ke sela-sela jendela kayu, namun anak-anak sudah sibuk memperebutkan giliran mandi (air hangat).
Rencana hari ini, menjelajahi desa adat Jangga, desa yang konon masih menyimpan denyut budaya Batak Toba dalam bentuk paling murni.
Kami memulai perjalanan dari Balige. Jalanan berliku menyusuri danau memberi pemandangan yang memanjakan mata. Sesekali, mobil kami berhenti bukan karena macet, tapi karena kami terlalu sering terpesona.
Anak-anak tertawa geli melihat kerbau dan sapi yang santai berjalan di tengah jalan. Sesekali, mereka diam, lalu menatap keluar jendela. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan, tapi aku harap pemandangan ini akan tersimpan dalam memori anak-anak untuk waktu yang lama.
Menuju Jangga Dolok, kami melewati lembah dan perbukitan yang membuat kami merasa seolah masuk ke dalam lukisan kuno. Lokasinya memang tidak langsung di pinggir danau, tapi berada di sisi kaki Gunung Simanuk-manuk, sekitar 24 kilometer dari tepian Danau Toba.
Jalanan mulai mengecil, dan sinyal ponsel semakin lemah, seolah memberi kode bahwa kami benar-benar akan memasuki dunia lain.
Dan memang, begitulah rasanya saat tiba di desa Jangga. Rumah-rumah adat Batak berjejer rapi, atapnya menjulang seperti tanduk kerbau.
Anak-anak kecil menyambut kami dengan senyum malu-malu, beberapa ibu duduk di depan rumah, sibuk menenun ulos dengan tangan-tangan yang cekatan.
Kami disambut bukan dengan spanduk atau brosur, tapi dengan keheningan dan ketulusan yang terasa menyentuh.
“Ini rumah raja zaman dulu,” kata pemandu lokal sambil menunjuk bangunan kayu yang sedikit lebih besar dari yang lain. Di sekitarnya, berdiri batu-batu monumen para raja Batak terdahulu, termasuk Raja Tambun dan Raja Manurung.
Tak ada pagar pembatas, tak ada larangan mengambil gambar, hanya harapan agar pengunjung datang dengan hati yang bersih dan penuh rasa hormat.
Kami melangkah pelan, tak ingin buru-buru. Jangga bukan tempat yang bisa dinikmati sambil lalu. Ada semacam aura khidmat yang membuat kita ingin duduk, mendengar cerita, dan ikut larut dalam sejarah yang masih hidup di antara kayu, kain, dan tanah basah.
Anak-anak ikut duduk di depan penenun. Mereka terdiam memperhatikan bagaimana benang demi benang dijalin menjadi ulos yang cantik. “Ulos ini untuk acara pernikahan,” kata si ibu.
“Kalau ini untuk acara duka.” Tiba-tiba, tanpa kami sadari, kami sedang belajar. Bukan dari buku, tapi dari kehidupan yang berjalan perlahan dan tak tergesa.
Kami lalu diajak melihat proses pewarnaan benang, diajak mencicipi makanan tradisional, bahkan diajari bagaimana menyapa dalam bahasa Batak. Dan entah bagaimana, kami merasa seperti pulang ke rumah lama yang belum pernah kami tinggali sebelumnya.
Waktu berlalu terlalu cepat di Jangga. Saat matahari mulai menuruni bukit, kami duduk bersama di lapangan kecil yang menghadap ke lembah. Angin sore menggerakkan pohon-pohon, dan untuk sesaat, tak ada yang bicara. Anak-anak bersandar di pundak kami, lelah tapi bahagia. Di kejauhan, suara burung menyapa senja.
Perjalanan ke Jangga Dolok hari itu bukan sekadar kunjungan wisata. Ia adalah pelajaran diam-diam tentang menghargai akar, tentang pentingnya memperlambat langkah, dan tentang bagaimana budaya bisa membuat satu keluarga menjadi lebih dekat. Kami datang hanya ingin liburan. Tapi Danau Toba dan Jangga, memberi lebih dari sekadar pemandangan.
Ketika mobil kami kembali menyusuri jalan pulang, anak sulung kami berkata, “Besok kita ke mana lagi? Tapi yang seperti tadi ya, yang bisa lihat orang-orang beneran.” Aku tersenyum. Dalam hati, aku tahu, perjalanan ini akan mereka kenang bukan karena selfie atau oleh-oleh, tapi karena rasa yang tertinggal. Dan mungkin, itu yang paling penting dari semua ini.
Comments
Post a Comment